_______________________________________________

Stop AIDS Now! Merupakan kemitraan lima organisasi Belanda yang terlibat dalam kerja sama pembangunan: AIDS Founds, Cordaid, Hivos, ICCO, dan Oxfam-Novib. Misi Stop AIDS Now! adalah “bekerja bersama menuju dunia bebas AIDS”. Untuk merealisasikan misinya, Stop AIDS Now! melaksanakan program-program pengembangan untuk mempelajari dan membuat inovasi dari strategi dan metode yang ada, mengembangkan strategi dan metode yang baru, serta mendirikan bentuk kerja sama dan kemitraan baru. Stop AIDS Now! menerapkan program-program ini melalui kolaborasi dengan kelompok-kelompok lokal yang didukung oleh kelima mitranya. ALDP adalah bagian dari Koalisi SAN yang ada di Papua dan mengerjakan program tentang Gender dan HIV/AIDS.

_______________________________________________

Selasa, 03 Juni 2008

HIV-AIDS dan Perempuan

Oleh: Tim SAN! ALDP


Stop AIDS Now! Merupakan kemitraan lima organisasi Belanda yang terlibat dalam kerja sama pembangunan: AIDS Fo
unds, Cordaid, Hivos, ICCO, dan Oxfam-Novib. Misi Stop AIDS Now! adalah “bekerja bersama menuju dunia bebas AIDS”. Untuk merealisasikan misinya, Stop AIDS Now! melaksanakan program-program pengembangan untuk mempelajari dan membuat inovasi dari strategi dan metode yang ada, mengembangkan strategi dan metode yang baru, serta mendirikan bentuk kerja sama dan kemitraan baru. Stop AIDS Now! menerapkan program-program ini melalui kolaborasi dengan kelompok-kelompok lokal yang didukung oleh kelima mitranya. ALDP adalah bagian dari Koalisi SAN yang ada di Papua dan mengerjakan program tentang Gender dan HIV/AIDS.

Banyak ilmu dan pengalaman yang telah didapat dari diskusi-diskusi kelompok yang telah dilakukan ALDP dalam program Stop AIDS Now! ini. Dari hasil diskusi yang dibangun bersama Kelompok Berbagi Cerita (KBC - ALDP) dan para ODHA ini ternyata menarik, karena membuka wawasan kita tentang virus yang satu ini. Bahwa ternyata seorang ibu yang positif HIV belum tentu melahirkan seorang bayi yang positif HIV. Artinya bahwa semua perempuan mempunyai hak untuk bisa hamil dan melahirkan, begitu juga dengan perempuan yang terinveksi virus HIV. Siapa berhak mengatasnamakan anak yang belum lahir? Demikian Wahyuni menyampaikan hal tersebut pada diskusi bulanan Komunitas Teman Bicara dengan thema, HIV dan Perempuan.

Seorang ibu positif HIV bisa hamil apabila CD4 diatas 400 dan jumlah viral load (virus)-nya rendah, banyak mengkonsumsi suplemen multivitamin. Ada beberapa obat tidak boleh dikonsumsi oleh ibu yang positif HIV pada saat hamil, seperti efavirenz, d4T+ddl dan HU. Tetapi juga keputusan untuk menjadi hamil adalah keputusan bersama antara istri dan suami dengan pertimbangan masa depan anak.

Faktor yang mempengaruhi penularan virus pada bayi adalah viral load ibu yang tinggi (di atas 1000), ada infeksi plasenta (malaria), perempuan terinveksi suatu IMS, bila gizi perempuan kurang, dan intervensi yang tidak perlu waktu lahir (seperti membantu persalinan dengan cara menyedot kepala bayi). Agar bayi tidak tertular virus HIV dari ibu yang positif maka sebaiknya menggunakan Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi atau Prevention of Mother to Child Transmission (PMTCT).

Untuk mencegah penularan pada bayi, yang paling penting adalah mencegah penularan pada ibunya dulu. Harus ditekankan bahwa si bayi hanya dapat tertular oleh ibunya. Jadi bila ibunya HIV-negatif, pasti si bayi juga tidak terinfeksi HIV. Sedangkan status HIV si ayah tidak mempengaruhi status HIV si bayi.

Mengapa? Kita sering salah ngomong bahwa salah satu cairan tubuh manusia yang mengandung HIV adalah ‘carian sperma’. Ini salah! Yang mengandung virus pada laki-laki yang HIV-positif adalah air mani, bukan sperma. Hal ini ibarat ikan dalam air laut: airnya mengandung virus, bukan ikan. Sperma tidak mengandung virus, dan oleh karena itu, telur si ibu tidak dapat ditularkan oleh sperma! Jelas, bila si perempuan tidak terinfeksi, dan melakukan hubungan seks dengan laki-laki tanpa kondom dalam upaya buat anak, ada risiko si perempuan tertular. Dan bila perempuan terinfeksi pada waktu tersebut, dia sendiri dapat menularkan virus pada bayi. Tetapi si laki-laki tidak dapat langsung menularkan ke janin atau bayi. Hal ini menekankan pentingnya kita menghindari infeksi HIV pada perempuan.

Tetapi untuk ibu yang sudah terinfeksi, kehamilan yang tidak diinginkan harus dicegah. Bila kehamilan terjadi, harus ada usaha mengurangi viral load ibu di bawah 1000 agar bayi tidak tertular dalam kandungan, mengurangi risiko kontak cairan ibunya dengan bayi waktu lahir agar penularan tidak terjadi waktu itu, dan hindari menyusui untuk mencegah penularan melalui ASI. Dengan semua upaya ini, kemungkinan si bayi terinfeksi dapat dikurangi jauh di bawah 8%.

Jelas yang paling baik adalah mencegah penularan pada perempuan. Hal ini membutuhkan peningkatan pada program pencegahan, termasuk penyuluhan, pemberdayaan perempuan, penyediaan informasi dan kondom, harm reduction, dan hindari transfusi darah yang tidak benar-benar dibutuhkan.

Untuk mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, program tidak jauh berbeda dengan pencegahan infeksi HIV. ODHA perempuan yang memakai antiretroviral (ART) harus sadar bahwa kondom satu-satunya alat KB yang efektif. Dalam hal ini, mungkin kondom perempuan adalah satu sarana yang penting.

Untuk mengurangi viral load ibu, cara terbaik adalah dengan memakai ART penuh sebelum menjadi hamil. Ini akan mencegah penularan pada janin. ART dapat diberikan walaupun dia tidak memenuhi kriteria untuk mulai ART, setelah melahirkan bisa berhenti lagi bila masih tidak dibutuhkan. Pedoman baru dari WHO melonggarkan kriteria ART untuk perempuan hamil. WHO mengusulkan perempuan hamil dengan penyakit stadium klinis 3 dan CD4 di bawah 350 ditawarkan ART. Jelas bila CD4 di bawah 200, atau mengalami penyakit stadium klinis 4, sebaiknya si perempuan memakai ART.

Namun ada sedikit keraguan dengan rejimen yang sebaiknya diberikan pada perempuan. Perempuan hamil tidak boleh diberikan efavirenz, terutama pada triwulan pertama. Tetapi juga ada masalah dengan pemberian nevirapine pada perempuan dengan CD4 yang masih tinggi: efek samping ruam dan hepatotoksisitas (keracunan hati) lebih mungkin dialami oleh perempuan dengan di atas 250. Jadi dibutuhkan pemantauan yang lebih ketat, sedikitnya pada beberapa minggu pertama, bila nevirapine diberikan pada perempuan dengan CD4 di atas 250.

Namun sering kali si ibu baru tahu dirinya terinfeksi setelah dia hamil. Mungkin ARV tidak terjangkau. Seperti dibahas, ibu hamil tidak boleh memakai efavirenz, tetapi mungkin nevirapine menimbulkan efek samping. Bila dia pakai terapi TB, diusulkan dihindari nevirapine, walaupun boleh tetap dipakai NNRTI ini bila tidak ada pilihan lain. Dan apa dampak bila ART diberikan pada perempuan tetapi tidak pada suami yang terinfeksi juga? Apakah si perempuan akan kasih obatnya pada suami, atau lebih buruk lagi, obatnya dibagi dengan dia? Bila menghadapi beberapa masalah ini, atau si perempuan tetap tidak memenuhi kriteria untuk mulai ART penuh, sebaiknya dia ditawarkan protokol yang berikut:

Ibu: AZT pada ibu dari minggu 28.

NVP dosis tunggal + AZT + 3TC.

saat melahirkan AZT + 3TC diteruskan selama 7 hari.

Bayi: NVP dosis tunggal + AZT segera setelah lahir.

AZT diteruskan selama 7 hari.

AZT dan 3TC diteruskan setelah melahirkan untuk mencegah timbulnya resistansi pada nevirapine, karena walaupun hanya satu pil diberikan waktu persalinan, tingkat nevirapine dapat tetap tinggi dalam darah untuk beberapa hari, jadi serupa dengan monoterapi dengan nevirapine. Hal yang serupa pada bayi dicegah dengan pemberian AZT setelah dosis tunggal nevirapine.


Dirangkum dari diskusi bulanan Komunitas Berbagi Cerita berthema HIV-ADIS dan Perempuan, bersama narasumber Cristian Wahyuni, Supervisor Divisi Kelompok Dukungan Sebaya, Yayasan Spiritia Jakarta.

Tidak ada komentar: